Komang Tris Astra Putri Adnyani, Siswa SMAN 1 Banjar, Buleleng, Bali

Sunday, August 18, 2019

Generasi Z dalam Narasi Pindah Ibu Kota

Istilah generasi Z kalah populer dengan generasi milenial. Dalam buku Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia, naskah dari Badan Pusat Statistik yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Tahun 2018, halaman 17, disebutkan bahwa generasi milenial Indonesia adalah penduduk Indonesia yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan 2000. Sedangkan  generasi Z yang lahir rentang tahun 2001 sampai dengan 2010. Jadi, generasi Z merupakan kelanjutan dari generasi milenial ketika teknologi berkembang pesat dengan pola pikir serba instan.
Sebagai generasi Z, kelahiran pasca tahun 2000-an, isu pemindahan ibu kota Negara Republik Indonesia patut menjadi perhatian. Karena menyangkut masa depan generasi Z yang pasti melanjutkan keberlangsungan dan keberadaan Bangsa Indonesia dengan segala suka dukanya. Oleh karena itu, seluruh generasi Z wajib berkontribusi memberikan pandangan, kritik, dan saran terhadap wacana pemindahan ibu kota.
Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan  di depan sidang bersama DPD dan DPR RI, 16 Agustus 2019, secara terang benderang telah memohon ijin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke pulau Kalimantan. Untuk itu, generasi Z berhak dan wajib berpartisipasi aktif di tengah pro kontra isu tersebut. Karakteristik generasi Z hendaknya diakomodasi sebagai landasan pengambilan kebijakan. Semua dilakukan semata-mata demi masa depan Bangsa Indonesia yang lebih baik. Bangsa Indonesia yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Dari kajian literatur, ditemukan bahwa ciri-ciri generasi Z relatif sama dengan generasi milenial. Bedanya, hanya pada situasi saat generasi Z lahir, yakni teknologi berkembang sangat pesat dan pola pikir yang cenderung serba instan. Dikaitkan dengan hubungannya dalam kehidupan, beberapa ciri-ciri generasi Z diantaranya, lebih akrab dengan smartphone, media sosial sebagai alat komunikasi dan informasi, lebih berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, mudah berpindah pekerjaan, lebih kritis, berani, dan menyukai kebebasan berpikir. Oleh karena itu, dalam kerangka pemindahan ibu kota negara, mempertimbangkan karakteristik generasi Z adalah sesuatu yang wajib.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu dijadikan rujukan dalam pemindahan ibu kota Negara, sehingga mampu mengakomodasi karakteristik generasi Z.
Pertama, kemudahan akses internet. Di seluruh wilayah ibu kota baru, dipastikan tersedia jaringan internet yang mudah, cepat, lancar, dan murah. Tidak ada satu titikpun yang mengalami blankspot. Satelit mampu mendeteksi di setiap sudut-sudut wilayah ibu kota. Hal ini penting, dalam memperlancar komunikasi dan informasi di satu pihak dan memastikan keamanan ibu kota di pihak lain. Setiap pergerakan, dapat dideteksi jejak digitalnya. Kondisi inilah yang ideal bagi kalangan generasi Z. Mereka akan terpicu dan terpacu untuk mengembangkan kemampuannya dengan memanfaatkan media sosial. Selanjutnya, membuka usaha secara online dan berkompetisi secara global. Kondisi ini diyakini akan menghasilkan sumber daya manusia Bangsa Indonesia yang berkualitas.
Kedua, terpenuhinya sumber energi, terutama listrik. Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini listrik adalah sumber energi yang paling penting dalam kehidupan. Kekurangan energi listrik dipastikan akan menghentikan dan melumpuhkan denyut kehidupan kota. Pengalaman Ibu Kota Jakarta, pada awal Agustus 2019, yang lumpuh akibat listrik padam, jangan sampai terjadi di ibu kota baru. Oleh karena itu, harus ada jaminan bahwa ketersediaan listrik melebihi kebutuhan di ibu kota baru. Pemerintah perlu mempertimbangkan keanekaragaman sumber energi, seperti PLTA, PLTS, PLTB, dan PLTD dalam kerangka memperkuat jaminan tersebut. Ketersediaan listrk yang melimpah, mudah, dan murah akan membantu kaum generasi Z untuk berkreativitas dan berinovasi.
Ketiga, ketersediaan lembaga pendidikan. Salah satu ciri generasi Z adalah kecenderungannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu, ketersediaan lembaga pendidikan sangat perlu diperhatikan di ibu kota baru. Fasilitas pendidikan mulai dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK, dan Perguruan tinggi harus tersedia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Di samping itu, berbagai lembaga pendidikan hendaknya terjangkau bagi generasi Z. Artinya, lembaga pendidikan tersedia dengan biaya murah, mudah diakses, tetapi berkualitas. Menghadirkan situasi dan kondisi tersebut tidaklah mudah, tetapi itulah tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan ibu kota baru yang berpihak kepada generasi Z. Ibu kota harus menjadi rujukan generasi Z untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Kuantitas dan kualitas pendidikan di ibu kota negara, tidak hanya untuk kepentingan generasi Z semata, tetapi juga menunjukkan citra bangsa dan negara.
Keempat, tersedianya lapangan pekerjaan yang mencukupi dan beragam. Ibu kota negara adalah rujukan semua kalangan, termasuk generasi Z untuk meniti karir dan berkompetisi dalam kehidupan. Ibu kota Negara hendaknya menyediakan banyak pekerjaan dengan jenis yang beragam, berkembang lebih cepat, terarah, dan terukur. Oleh karena itu, di sekitar ibu kota perlu dikembangkan berbagai jenis industri, baik barang maupun jasa. Semua dilakukan dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia di ibu kota baru, serta mengakomodasi karakteristik generasi Z.
Demikian sebagian harapan untuk ibu kota baru Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi generasi Z. Generasi yang pasti melanjutkan tongkat estafet pembangunan Bangsa Indonesia. Generasi yang berhadapan dengan perubahan tak terduga di masa depan. Oleh karena itu mengakomodasi harapan generasi Z saat ini adalah awal yang mulia untuk Bangsa Indonesia di masa mendatang.  #Bappenas, #IbuKotaBaru.
Penulis:
Komang Tris Astra Putri Adnyani
Siswa SMAN 1 Banjar, Buleleng, Bali

Wednesday, June 13, 2018

Mitos Siwaratri


Masih sering saya mendengar, semeton umat sedarma, termasuk Yowana Hindu yang menyebutkan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan dosa atau malam pengampunan dosa. Itulah sebabnya, mereka rela begadang, bahkan memaksakan diri begadang agar segala dosanya dilebur atau diampuni. Yang sangat menyedihkan, ada sebagian dari mereka melakukan aktivitas kurang terpuji demi dapat begadang semalam suntuk. Seperti, menggelar judian, karaoke dengan musik dangdut, dan minum-minuman beralkohol. Sungguh sedih hati ini. Sebagai Yowana Hindu, Saya menolak dengan tegas dan menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap fakta-fakta itu. Sudah saatnya, umat Hindu yang dipelopori oleh Yowana Hindu menunjukkan cara yang baik dan benar melaksanakan Siwaratri sesuai dengan sastra Agama Hindu. Yowana Hindu harus cerdas dan kritis terhadap Gugon Tuwon, dan wajib mencari Gugu Tuhu yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
Sebelum mengkaji lebih dalam tentang bagaimana pelaksanaan Siwaratri yang baik dan benar sesuai dengan sastra Agama Hindu, maka perlu memahami makna Siwaratri. Secara harfiah Siwaratri artinya malam Siwa. Jika diuraikan, Siwaratri terdiri dari 2 kata, yakni, Siwa dan Ratri. Dalam Bahasa Sansekerta, Siwa mengandung arti yang baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Nah, baru tahu kan? Ternyata, Saya juga baru tahu. Ditinjau dari fungsinya dalam menyeimbangkan alam semesta dan isinya, Siwa juga diartikan sebagai sebuah gelar atau nama kehormatan. Dalam hal ini, Siwa berfungsi sebagai pemerelina atau pelebur untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.
Sedangkan Ratri artinya malam. Di mana ada malam, di sana ada gelap. Oleh karena itu, Ratri dapat diartikan sebagai kegelapan. Kegelapan artinya tanpa penerangan. Dan, penerang jiwa adalah pengetahuan. Sehingga, Ratri artinya tanpa pengetahuan atau kebodohan. Dengan demikian Ratri dapat diartikan sebagai malam, kegelapan, dan kebodohan. Jadi Siwaratri berarti malam pemerilina atau pelebur kegelapan atau kebodohan dalam diri untuk menuju jalan yang lebih terang dengan meningkatkan jnana atau pengetahuan. Nah, jelaslah sekarang bahwa Siwaratri bukan malam peleburan dosa dan juga bukan malam pengampunan dosa. Mengapa dosa tidak dapat dilebur atau diampuni?
Dasar ajaran Agama Hindu adalah Panca Srada. Dan, Srada yang ketiga adalah percaya dengan adanya hukum Karma Phala. Setiap perbuatan atau tindakan atau karma pasti akan berpahala. Dan, hasil dari perbuatan ini akan selalu melekat pada diri manusia yang selanjutnya disebut Karma Wasana. Perbuatan baik atau Subha Karma akan berbuah kebaikan. Sedangkan perbuatan tidak baik atau Asubha Karma akan menghasilkan dosa. Kebaikan dan dosa ini akan berkumpul dalam bentuk Karma Wasana. Oleh karena itu, ajaran Agama Hindu tidak mengenal peleburan atau pengampunan dosa. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa yang pernah kita perbuat? Kita tidak dapat menghapus atau melebur dosa-dosa. Tetapi, kita dapat mengurangi kadar dosa itu. Bagaimana caranya?
Nah, mari kita belajar “Agamatika”, yakni Agama-Matematika! Berikut contoh perhitungan matematika untuk menentukan kadar dosa! Pada mulanya perbuatan baik dan dosa kita masing-masing sebanyak 60 dan 40. Maka persentase dosa kita adalah 40/(60 + 40) x 100%. Jadi kadar dosa kita adalah sebesar 40%. Setelah melaksanakan Siwaratri dengan baik dan benar, maka mulai ada kesadaran dalam diri sehingga tidak pernah lagi melakukan dosa. Bahkan ada sebanyak 60 kebaikan yang sudah diperbuat. Maka kadar dosa kita menjadi 40/(120 + 40) x 100%, yakni sebesar 25%. Sehingga, terjadi penurunan kadar dosa dari semula 40% menjadi 25% atau penurunan sebesar 15%. Dengan demikian menurut ajaran Agama Hindu, dosa tidak dapat dilebur atau diampuni, tetapi dapat dikurangi kadarnya sampai sekecil-kecilnya, walaupun tidak akan pernah mencapai 0%. Yakni, dengan cara melakukan perbauatan baik (Shuba Karma) sebanyak-banyaknya. Betul?
Berkaitan dengan hal tersebut, maka Siwaratri akan lebih tepat dipandang sebagai malam perenungan dosa. Dosa-dosa apakah yang telah kita perbuat selama ini, baik yang berasal dari pikiran, perkataan, maupun perbuatan? Mengapa kita melakukan dosa itu? Dan, pada akhirnya mencari jawaban dan solusi, apa yang dapat kita lukukan untuk tidak mengulangi lagi tindakan atau perbuatan yang menyebakan dosa? Semua pertanyaan itu sangat tepat dicarikan jawabannya pada saat Siwaratri. Dengan demikian Siwaratri adalah malam introspeksi diri atau mulat sarira. Yakni, malam perenungan dosa  (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. Sebagai malam perenungan, maka  sangat baik melakukan evaluasi diri dan sekaligus memohon diberi tuntunan jalan yang benar agar terhindar dari perbuatan dosa.
Bagaimana melaksanakan Siwaratri yang baik dan benar menurut sastra Agama Hindu? Ada tiga hal utama yang perlu dilaksanakan pada Siwaratri, yakni Monabrata, Jagra, dan Upawasa. Monabrata adalah berdiam diri dan tak berbicara. Jagra adalah tidak tidur selama semalaman. Dan, Upawasa adalah tidak makan dan tidak minum. Namun, dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan. Hal yang sama juga terjadi pada pelaksanaan Siwaratri. Tingkat Utama, yakni dengan melaksanakan Monabrata, Jagra, dan Upawasa. Tingkat Madya, dengan melaksanakan Jagra dan Upawasa. Sedangkan tingkat Nista, dengan melaksanakan Jagra. Selanjutnya, Siwaratri diakhiri dengan persembahyangan dan memohon kepada Sang Hyang Siwa agar dikembalikan menjadi manusia yang suci dan paripurna serta memohon petunjuk jalan yang terang sehingga terhindar dari perbuatan dosa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Siwaratri bukanlah malam penebusan, peleburan, atau pengampunan dosa. Tetapi, Siwaratri adalah malam perenungan, introspeksi, dan evaluasi diri terhadap dosa yang telah diperbuat. Dalam ajaran Agama Hindu hukum Karma Phala tetap berlaku secara mutlak. Tetapi, dengan menjalankan brata Siwaratri diharapkan kita mampu mengendalikan diri sehingga selalu dapat berbuat baik (Shuba Karma) dan terhidar dari perbuatan dosa (Asubha Karma). Semoga.

Oleh: Komang Tris Astra Putri Adnyani (Siswa SMPN 2 Banjar, Buleleng, Bali)
#ArjunaDigital #SayaHindu #HinduHebat #HinduKeren







Monday, June 11, 2018

Brahma Muhurta


Jujur saja, tidak lebih dari sebulan ini, saya baru mengenal istilah Brahma Muhurta. Itupun muncul setelah ramai di media sosial membahas tentang isu Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan. Apa hubunganya ya? Saya juga yakin, banyak kalangan Yowana Hindu yang belum pernah mendengar Brahma Muhurta. Apalagi memahaminya. Ketika ramai pro kontra tentang pelaksanaan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan dengan menggunakan pengeras suara, maka sifat “kepo” Saya terprovokasi. Mulailah Saya membuka-buka buku, surat kabar, majalah, dan menjelajah dunia maya (internet). Wah, Saya jadi sadar, bahwa Saya sudah berada di era revolusi industri generasi keempat (revolusi industri 4.0) atau disebut juga generasi milenium. Yakni,  generasi yang berada di bawah jajahan dunia digital dan internet. Sekali lagi wah, ternyata informasi tentang Brahma Muhurta begitu melimpah.
Dari hasil berselancar di media massa dan dunia maya, akhirnya Saya menemukan penjelasan tentang Brahma Muhurta. Walaupun, Saya yakini belum lengkap. Brahma Muhurta adalah waktu di pagi hari yang sangat berharga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan (Darmayasa dalam Bali Post, 18 September 2016). Brahma Muhurta juga diartikan sebagai waktu penciptaan, waktu emas, dan waktunya Tuhan. Penjelajahan di Wikipedia menemukan bahwa Brahma Muhurta adalah periode (muhurta) satu setengah jam sebelum matahari terbit atau lebih tepat 1 jam 36 menit sebelum matahari terbit. Secara harfiah Brahma Muhurta adalah Waktu Sang Pencipta (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Brahmamuhurtha). Jadi Brahma Muhurta adalah waktu paling mulia dan suci sepanjang 24 jam sehari.
Kapan waktu tepat Brahma Muhurta? Fakta menunjukkan, bahwa waktu terbit matahari di masing-masing tempat bervariasi. Sehingga, waktu Brahma Muhurta juga bervariasi. Sebagai contoh, jika matahari terbit pada pukul 06.00 pagi, maka Brahma Muhurta dimulai pada pukul 04.24. Jika matahari terbit jam 07.00 pagi, maka Brahma Muhurta dimulai jam 05.24 pagi. Lalu, bagaimana dengan di Bali? Di Bali, Brahma Muhurta sering disebut dengan menjelang galang kangin. Yakni, sekitar pukul 06.00 pagi waktu Bali. Jadi, waktu inilah yang paling tepat untuk melakukan hubungan diri dengan Hyang Widi. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Bali, merekomendasikan waktu Tri Sandya di pagi hari adalah pukul 06.00 Wita. Wujud nyata dari pemanfaatan Brahma Muhurta sesuai dengan petunjuk sastra Agama Hindu adalah Tri sandya. Selanjutnya, dapat dilengkapi dengan Kramaning Sembah, Semadi (meditasi), Yoga, Tapa, Gita (Kidung). Melalui aktivitas tersebut, maka efek postif dari Brahma Muhurta akan meningkatkan kesehatan, ketenangan, dan kedamaian jiwa dan raga. Benarkah?
Sebagai Yowana Hindu, Saya tidak dapat menerima begitu saja. Saya perlu penjelasan logis dan ilmiah tentang Brahma Muhurta. Mengapa disebut waktu emas? Dan mengapa merupakan waktu terbaik untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widi? Udara pada saat Brahma Muhurta adalah terbersih dari 24 jam sehari. Mengapa? Karena, mulai dari jam 22.00 Wita sampai dengan dini hari kemudian, sekitar pukul 06.00 Wita aktivitas manusia sangat minimal, nyaris terhenti. Sehingga, pencemaran udara oleh kendaraan bermotor, mesin pabrik, dan aktivitas rumah tangga nyaris tidak ada. Kondisi inilah yang menyebabkan udara menjadi bersih dan menyehatkan. Pada Brahma Muhurta, diyakini udara mengandung kadar oksigen tertinggi dan kadar karbondioksida terendah. Inilah yang disebut dengan udara sehat.
Ditinjau dari kondisi manusia dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat istirahat tidur, jiwa (pikiran) dan raga (fisik) manusia terus menurun sampai ke titik nol (kosong). Ketika bangun, jiwa (pikiran) dan raga (fisik) manusia berada pada posisi nol (kosong), sehingga, perlu diisi dengan energi yang positif, bersih, sehat, dan suci. Agar diperoleh energi yang baik tersebut, maka bangun pada saat Brahma Muhurta adalah pilihannya. Selanjutnya, melakukan aktivitas yang menghasilkan energi positif pada jiwa dan raga. Energi tersebut dapat diperoleh melalui pranayama (pengaturan napas), meditasi, tapa, yoga, semadi, dan gita (kidung). Wujud nyata dari aktivitas tersebut adalah melaksanakan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan. Pendek kata, Brahma Muhurta adalah waktu yang tepat dan sangat baik untuk melakukan perenungan diri tentang kamahakuasaan Hyang Widi dan kegiatan yang membawa kebaikan, kesehatan, kesucian dan kemuliaan lahir dan batin. Nah, sekarang terlihat benang merah antara Brahma Muhurta dengan pelaksanaan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan. Betul?
Bagaimana dengan pelaksanaan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan dengan menggunakan pengeras suara? Adalah kewajiban bagi setiap Umat Hindu, termasuk Yowana Hindu untuk mengingatkan kepada umat sedarma, bahwa Brahma Muhurta telah tiba. Salah satu upaya itu adalah mengumandangkan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan dengan menggunakan pengeras suara. Tri Sandya adalah kewajiban bagi Umat Hindu. Karena, Tri Sandya mendoakan bhuwana alit (seluruh umat manusia) dan bhuwana agung (alam semesta) agar selalu harmonis dan damai. Begitu mulia doa-doa dalam Tri Sandya. Oleh karena itu, jika ada yang menolak, maka patut dipertanyakan Ke-Hinduan-nya. Saya berani mengatakan, bahwa menguasai, memahami, dan melaksanakan Tri Sandya adalah identitas dan kesejatian Hindu yang pertama dan utama. Jika tidak demikian, maka berarti bukan Hindu. Dengan menggunakan pengeras suara, berarti telah mengingatkan kedatangan Brahma Muhurta. Di samping itu, juga mengajak umat secara bersama-sama untuk memanfaatkan Brahma Muhurta dengan baik dan benar melalui pelaksanaan Tri Sandya, Kramaning Sembah, Kakawin, dan Kakidungan. Karena, menyampaikan kebaikan kepada umat adalah bagian dari Darma Agama. Setuju?

Oleh: Komang Tris Astra Putri Adnyani (Siswa SMPN 2 Banjar, Buleleng, Bali)
#ArjunaDigital #SayaHindu #HinduHebat #HinduKeren


Saturday, June 9, 2018

Arjuna Digital: Apaan Tuh?


Pada saat Saya mendengar kata Arjuna Digital, pikiran seketika menerawang untuk melukiskan bagaimana wujud Arjuna Digital itu. Pertama-tama, terlukiskan dalam pikiran Saya, sosok Arjuna dalam wujud animasi dengan wajah ganteng, bersih, dan penuh daya tarik. Lalu, Saya berpikir bahwa Arjuna yang merupakan titik tengah keluarga Pandawa dijadikan tokoh utama dalam cerita Arjuna Digital. Jadi, Arjuna Digital adalah sebuah film animasi. Selanjutnya, juga terlintas dalam pikiran Saya, bahwa Arjuna Digital adalah pementesan Kakawin Arjuna Wiwaha yang kemudian diunggah ke youtube. Ah, Saya salah! Setelah brosur dibaca dan hasil penjelajahan di http://sayahindu.blogspot.com, ternyata Arjuna Digital adalah Sayembara berbasis Hindu.
Arjuna Digital 2018 adalah sayembara yang diselenggarakan oleh Paiketan Krama Bali. Apalagi tuh Paiketan Krama Bali? Paiketan Krama Bali adalah wadah pemersatu Krama Bali untuk mewujudkan Jagadhita berdasarkan filosofi Tri Hita Karana. Wadah ini dideklarasikan pada 1 Juni 2017 di Pura Jagatnatha Denpasar. Mengapa di pura? Karena, ingin mendapatkan dukungan secara sosial sekala maupun niskala. Secara sekala agar mendapatkan dukungan penuh dari Krama Bali. Dan, secara niskala memperoleh berkat dan anugrah dari Hyang Widi. Lalu apa visi dan misinya? Visi Paiketan Krama Bali adalah menjadi wadah pemersatu Krama Bali untuk mencapai Jagadhita berdasarkan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan). Sedangkan misinya, yakni 1) Meningkatkan Sraddha Bhakti Krama Bali, 2) Menjaga Taksu dan kesucian Bali, 3) Memperkuat jati diri Krama Bali melalui semangat persaudaraan, gotong royong, paras-paros sarpanaya, sagilik saguluk salunglung sabayantaka, 4) Mewujudkan kemandirian dan martabat Krama Bali berdasarkan Satyagraha, Swadesi dan Tri Kaya Parisudha, 5) Menggali, melestarikan dan memberdayakan warisan alam dan budaya Bali, dan 6) Melakukan pengendalian dalam pemanfaatan warisan alam dan budaya Bali. Wih, sungguh mulia!
Jika Saya cermati, maka visi dan misi tersebut sangat sesuai dengan nama Paiketan Krama Bali. Paiketan artinya ikatan. Dan, ikatan akan memperkuat dalam dan luar. Ke dalam akan memperkuat keberadaan Krama Bali. Memunculkan rasa bangga dan Jengah sebagai Hindu di Bali. Sehingga dengan keyakinan kuat akan menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kualitas Krama dan ajaran Agama Hindu. Peningkatan kualitas Krama Bali di satu pihak dan penguatan pemahaman ajaran Agama Hindu di pihak lain, diyakini akan memperkuat keberadaan Bali, Hindu, dan Hindu di Bali. Lalu ke luar, Krama Hindu di Bali harus berani menunjukkan jati dirinya. Bahwa Hindu adalah hebat, mulia, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Untuk itu Krama Hindu di Bali harus mampu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni bersamaan dengan penguatan ajaran Agama Hindu. Krama Hindu di Bali, harus sadar bahwa dunia telah memasuki revolusi industri generasi ke-4. Dalam hal ini dunia telah dikuasai teknologi digital dan internet. Sehingga, tiada pilihan lain bagi Krama Hindu di Bali untuk mampu beradaptasi dengan teknologi digital dan internet. Mampukah? Saya yakin mampu, pasti mampu! Nah, dalam hal inilah Arjuna Digital 2018, sangat tepat sebagai salah satu upaya untuk menjawab tantangan itu.
Kembali ke Arjuna Digital 2018. Adalah sayembara yang diselenggarakan oleh Paiketan Krama Bali berupa lomba pembuatan konten siar Hindu untuk sosial media dengan tema “Hindu itu Hebat”. Hebatnya lagi, total hadiahnya mencapai seratus juta rupiah. Sungguh awal yang mulia untuk memulai kemuliaan. Lalu, lomba apa sajakah yang disajikan? Ada empat jenis lomba yang dapat diikuti oleh generasi muda Hindu, yakni 1) Lomba Blog dengan tema Hindu di Era Modern, 2) Lomba Image yaitu poster ajaran Hindu, 3) Lomba Video Dharmawacana Gaul, dan 4) Lomba Testimoni Trisandya Apps di Instagram. Dengan demikian Arjuna Digital 2018 adalah sayembara yang merupakan jawaban nyata terhadap revolusi industri 4.0. Yakni, upaya memberikan tantangan sekaligus peluang bagi Krama Hindu di Bali dan Indonesia untuk menyelami teknologi digital dan internet. Sungguh sebuah niat yang mulia. Setuju?
Secara detail, tujuan diselenggarakannya Arjuna Digital 2018, yakni 1) Memberikan pembelajaran bagi generasi muda, bagaimana menggunakan sosial media dengan baik, 2) Meningkatkan kecerdasan literasi generasi muda, 3) Menyalurkan minat, bakat serta hobby generasi muda secara positif dalam dunia IT, dan 4) Memproduksi konten Ajaran Hindu untuk nantinya bisa diviralkan di sosial media masing-masing guna meningkatkan keyakinan dan kebanggaan kita sebagai umat Hindu. Jika sedemikian hebat maksud dan tujuan Arjuna Digital 2018, maka Krama Bali, Yowana Hindu, wajib terlibat. Tentu, Saya, Kita, Yowana Hindu, dan Krama Bali tidak semata-mata hanya berorientasi pada hadiah yang wah. Tetapi, ingin menunjukkan identitas dan kualitas dalam  menghadapi Revolusi Industri 4.0. Untuk itu, Saya siap. Apakah Yowana Hindu di Bali dan Indonesia juga siap? Pasti siap!

Oleh: Komang Tris Astra Putri Adnyani (Siswa SMPN 2 Banjar, Buleleng, Bali)
#ArjunaDigital #SayaHindu #HinduHebat #HinduKeren


Friday, June 8, 2018

Menggugat Yowana Hindu


Banyak yowana (generasi muda) Hindu, barangkali termasuk Saya yang tidak utuh mengenal Hindu. Ada kecenderungan yowana Hindu mengenal Agama Hindu sebatas ritual (upacara). Padahal, sejatinya ada tiga kerangka dasar ajaran Agama Hindu. Ketiganya, yakni Tatwa, Etika (Susila), dan Rituil (Upacara). Pada sisi ini, rituil cenderung lebih mendominasi. Banyak yowana Hindu terjebak dalam pemahaman bahwa pelaksanaan ajaran Agama Hindu adalah pada perayaan hari raya suci semata. Seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, Saraswati, dan pada upacara piodalan di masing-masing Kahyangan Desa, Dang Kahyangan, dan Kahyangan Jagat. Lalu, siapakah yang salah?
Mencari kesalahan bukanlah solusi. Apalagi, menuding kesalahan kepada pihak tertentu, bukanlah tindakan bijaksana. Karena dalam Hindu tindakan itu tidak dibenarkan. Dalam Niti Sastra, disebutkan, “Aywa ngwang cumacad samasta jana, nora tan hana cacadanya ring praja” Janganlah engkau mencari kesalahan atau kejelekan orang lain, karena sesungguhnya tidak ada orang yang tanpa cacad di jagat ini. Artinya, tidak perlu kita mencari siap yang salah. Tetapi, mari melangkah ke depan dengan kebenaran. Apakah para yowana Hindu setuju? Lalu, apa yang harus dilakukan?
Wahai yowana Hindu, marilah kita mulai memahami tiga kerangka dasar Agama Hindu. Kita kaji dan diskusikan. Lalu, menerapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tatwa dalam Agama Hindu merujuk pada kitab suci Agama Hindu dan turunannya. Seperti, Catur Weda, Bagawad Gita, dan Sarasamuscaya. Semua pengetahuan yang terkandung di dalamnya sesering mungkin kita diskusikan. Kita temukan maknanya dan hubungkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita yakini bahwa upaya itu adalah sesuatu yang sulit. Mengapa? Karena dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, disebutkan, “Wyapi wyapaka, sarining parama tatwa durlaba kita” Bahwa, pengetahuan (Widya) ada di mana-mana. Tetapi pengetahuan yang maha utama sangat sulit ditemukan. Dan untuk itu diperlukan ketekunan dan kesungguhan. Apakah para yowana Hindu siap untuk tekun dan sungguh-sungguh? Jika tidak, maka dipastikan yowana Hindu akan gagal memahami Hindu secara utuh. Bahkan, dapat berakibat fatal dalam mamaknai Agama Hindu.
Setelah kuat dalam Tatwa Agama Hindu, maka selanjutnya perlu pemahaman Etika (Susila). Karena tidaklah lengkap pemahaman Tatwa tanpa diterapkan dalam wujud Etika (Susila) dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan Etika menurut konsep ajaran Agama Hindu, mewujud nyata dalam Tri Kaya Parisudha. Tiga keutamaan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yakni Kayika, Wacika, dan Manacika. Kayika adalah karma yang baik. Dengan karma yang baik diyakini akan menghasilkan buah (Pahala) yang baik pula. Siapa menebar kebaikan akan menuai buah kedamaian. Wacika adalah perkataan yang baik. Terkadang kata-kata lebih tajam dari mata pedang. Sehingga tidak salah jika dalam Niti Sastra disebutkan, “Wasita nimitanta manemu laksmi. Wasita nimitanta pati kapangguh. Wasita nimitanta manemu duhka. Wasita nimitanta manemu mitra” Artinya, karena kata-kata engkau mendapatkan kebahagiaan. Kata-kata juga yang dapat menyebabkan kematian. Karena kata-kita, kita mendapatkan bahaya. Dan, karena kata-kata kita memperoleh teman sejati. Oleh karena itu, hati-hatilah dalam mengeluarkan kata-kata. Manacika adalah berpikir yang baik. Pikiran akan mendorong perkataan dan mengarahkan perbuatan. Pikiran yang baik diyakini akan mendorong perkataan yang  baik dan akhirnya menghasilkan perbuatan yang baik pula. Bahkan dalam Sarasamuscaya disebutkan, “Riastu riangen-angen maphala juga ika” Walaupun hanya dalam pikiran, itu juga akan berpahala. Oleh karena itu pikiran yang baik pasti akan menghasilkan pahala yang baik pula. Untuk itu, wahai yowana Hindu marilah melaksanakan Etika (Susila) sesuai dengan ajaran Agama Hindu dengan melaksanakan Tri Kaya Parisudha. Setuju?
Akhirnya, barulah kita mengaitkan Tatwa dan Etika dengan Rituil (Upacara). Bahwa upacara adalah bagian dari pelaksanaan Tatwa dan Etika dalam ajaran Agama Hindu. Dalam setiap upacara Agama Hindu di Bali, selalu dipenuhi dengan simbol-simbol (pretiwimba). Upacara juga selalu dibalut dengan seni, tradisi, dan rasa kekeluargaan. Pendek kata, dalam upacara terjadi interaksi saling asah, asih, dan asuh. Sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya. Oleh karena itu, setiap pelaskanaan upacara hendaknya dapat ditelusuri kajian Tatwanya. Kita para yowana Hindu wajib mengetahui makna dibalik setiap upacara yang dilakukan. Bukan Gugon Tuwon (begitu yang diwariskan generasi pendahulu), tetapi harus mencari Gugu Tuhu (mempercayai yang benar). Setiap upacara dapat dijelaskan maknanya secara akal sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan. Lalu, ketika maknanya sudah dapat dijelaskan, maka pelaksanaannya juga harus mengikuti etika yang benar. Jika ketiga kerangka dasar Agama Hindu dapat dikawal dengan baik maka Agama Hindu akan ajeg dalam mewujudkan kedamaian. Lalu, siapakah yang wajib mengawal? Jawaban pertama dan utama adalah para yowana Hindu. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi para yowana Hindu untuk menunjukkan kualitasnya. Semoga.

Oleh: Komang Tris Astra Putri Adnyani (Siswa SMPN 2 Banjar, Buleleng, Bali)
#ArjunaDigital #SayaHindu #HinduHebat #HinduKeren


Saya dan Kemahamuliaan Hindu


Saya menyaksikan. Saya memahami dan kemudian melaksanakan. Lalu, saya menyadari, bahwa Hindu itu maha mulia dan maha agung. Mengapa? Karena, Hindu itu unik, beragam, toleran, bijaksana, dan mendamaikan. Apa faktanya? Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali yang beragam. Hal ini karena, Agama Hindu dan budaya Bali menyatu. Bagai rajutan benang sutra, tumpang tindih, dan saling menguatkan. Sehingga membentuk kain halus yang indah. Kain yang menyajikan kenyamanan dan menawarkan kedamaian. Agama Hindu sangat adaptif dengan budaya, budaya manapun, termasuk budaya Bali. Hal ini menyebabkan, di Bali, pelaksanaan ajaran Agama Hindu mewujud nyata dalam keberagaman. Keberagaman dalam kesemarakan dan keindahan. Penuh warna dan dengan segala keunikannya. Inilah bukti bahwa Agama Hindu sangat toleran dengan keberagaman.
Keberagaman tradisi dan budaya dalam kehidupan masyarakat Bali adalah fakta. Dan, fakta ini yang menampakkan kesan pelaksanaan Agama Hindu di Bali beragama. Mengapa? Keberagaman tradisi dan budaya di Bali saling terkait dengan Agama Hindu. Budaya dan Agama Hindu di Bali, nyaris sulit dibedakan dan dipisahkan. Akibatnya, Agama Hindu di Bali menampakkan warna dan bentuk implementasi beragam di beberapa daerah. Hindu di Bali dibalut budaya Bali. Dan, budaya Bali tak dapat dilepaskan dengan keberadaan desa pakraman. Menurut Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, disebutkan bahwa desa pakraman adalah kesatuan hukum masyarakat yang diikat oleh adanya Kahyangan Tiga. Setiap desa pakraman di Bali memiliki tradisi dan budaya dengan ciri khas tersendiri. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah desa pakraman di Bali mencapai 1.493 desa pakraman atau desa adat (https://www.beritabali.com/read/2017/12/08). Artinya, ada 1.493 keberagaman tradisi dan budaya di Bali yang masing-masing memiliki keunikan sendiri. Keberagaman ini, mau tidak mau akan mempengaruhi keberagaman pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali. Sehingga, ada kesan penampakan 1.493 Agama Hindu di Bali. Wih, hebat banget ya! Apa arti dari semua ini? Saya dan semua umat Hindu dimanapun berada, hendaknya mulai menyadari akan kemuliaan Hindu. Lalu, memperkokoh kebanggaan menjadi Hindu. Dan, akan terus menjadi Hindu sampai hayat dikandung badan.
Setiap desa pakraman memiliki kebiasaan atau adat istiadat unik dalam melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali. Keunikan ini diperloeh dari warisan leluhur atau pengaruh budaya luar yang melebur dalam kebiasaan di desa pakraman. Oleh karena itu, setiap desa pakraman akan memberikan warna berbeda pada pelaksanaan ajaran Agama Hindu. Artinya, pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali juga beragam. Keberagaman ini yang mengemuka sebagai tampilan berbeda. Lalu, terkesanlah Agama Hindu di Bali berbeda-beda. Apakah perbedaan ini adalah bibit dari perpecahan? Ah, itu adalah pertanyaan propokatif yang menandakan jiwa ketakutan, kepicikan dan tanpa kearifan. Mengapa? Karena, sesungguhnya Sastra Agama Hindu telah mengumandangkan bahwa keberagaman adalah bagian dari kehidupan. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Berbeda beda adanya, tetapi sesungguhnya adalah satu. Perbedaan itu hanya sakadar nama. Dan hanya orang bijaksana yang memberikan dengan nama berbeda. Konsep ini semakin menguatkan alasan bahwa Hindu Mulia. Demikian juga fakta ini menunjukkan bahwa Agama Hindu sangat toleran dengan keberagaman. Keberagaman adalan fakta. Keberagaman adalah keindahan. Sehingga menyamakan keberagaman bukanlah tujuan Agama Hindu.
Apakah hanya sekadar itu yang membuat Saya Hindu dan Saya Bangga? Tidak, sekali lagi tidak! Ada yang lebih dari sekadar itu. Apa itu? Tat Twam Asi. Konsep kesemestaan yang sangat universal. Umat Hindu menjadikan konsep Tat Twam Asi sebagai landasan dalam bermasyarakat. Saya tidak berbeda dengan Kamu. Dan, sesungguhnya Kamu adalah bagian dari Saya. Artinya, semua manusia berada pada derajat yang sama. Tidak ada satu manusia atau kelompok manusia yang lebih tinggi dari yang lainnya. Oleh Karena itu, pertanyaan berikut: untuk apa saling menyakiti?, Apa manfaatnya menghina orang lain?, Dan, apa untungnya merendahkan orang lain?, adalah turunan dari ajaran Tat Twam Asi. Karena, keberagaman itu hanya penampakan, tetapi di dalamnya adalah kesamaan. Bahwa di dunia ini terlihat berbeda, tetapi setelah kembali dan bersatu dengan Hyang Widi, semuanya adalah sama.
Saya adalah Kamu dan Kamu adalah saya. Dan, Saya dan Kamu akhirnya akan menyatu. Inilah kemuliaan Hindu. Sungguh konsep yang tiada terbatas, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Saya bangga menjadi bagian dari Hindu di Bali. Sekali lagi, Hindu telah menunjukkan keagungannya. Bahwa sesungguhnya manusia itu berasal dari yang tunggal. Oleh karena itu semua manusia sama, tak peduli apa suku, agama, bangsa, dan rasnya. Karena manusia berasal dari Panca Maha Bhuta yang pada akhirnya kembali menjadi Panca Maha Bhuta. Lalu, jika manusia itu adalah sama mengapa harus mengingkari keberadaan manusia lainnya. Inilah kemahamuliaan Hindu, tak terkecuali Hindu di Bali. Saya Hindu, Hindu Keren, dan Hindu Hebat. Saya bangga menjadi Hindu.
Oleh: Tris Astra Putri Adnyani (Siswa SMPN 2 Banjar, Buleleng, Bali)
#ArjunaDigital #SayaHindu #HinduHebat #HinduKeren